Jakarta | Narasinasional.com – Fenomena "Rojali" dan "Rohana" tengah menjadi sorotan publik, setelah istilah ini viral di media sosial karena mencerminkan perilaku masyarakat yang kerap mengunjungi pusat perbelanjaan hanya untuk berjalan-jalan atau sekadar bertanya, tanpa niat membeli.
"Rojali" merupakan singkatan dari "Rombongan Jarang Beli", sementara "Rohana" berarti "Rombongan Hanya Nanya". Istilah ini populer sejak akhir Juli 2025 setelah banyak warganet mengunggah pengalaman mereka di pusat perbelanjaan yang dipenuhi pengunjung, namun tingkat transaksi tetap rendah.
“Saya sering lihat mal penuh, tapi kasir sepi. Banyak yang cuma keliling, foto-foto, lalu pulang,” ujar Nia (32), pramuniaga di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan, Senin (28/7/2025).
Menurut data dari Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), jumlah kunjungan ke mal memang meningkat pasca pandemi. Namun, tingkat konversi pembelian mengalami penurunan drastis hingga 20 persen dibanding tahun sebelumnya. Hal ini dikhawatirkan mempengaruhi kelangsungan tenant dan pelaku UMKM yang bergantung pada pembeli langsung.
Fenomena ini pun dianalisis oleh para pakar sebagai cerminan melemahnya daya beli masyarakat, serta pergeseran perilaku konsumen urban yang lebih fokus pada pengalaman sosial dan konten media sosial daripada transaksi nyata.
“Banyak dari mereka datang ke mal untuk aktualisasi diri. Membuat konten atau sekadar eksis di tempat ‘hits’, tapi tidak semua siap secara finansial untuk belanja,” jelas psikolog Kasandra Putranto kepada media.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Selain merugikan tenant, kehadiran Rojali dan Rohana juga dinilai menghambat pertumbuhan ritel modern. Beberapa pengusaha menyebut bahwa fasilitas umum seperti **area duduk, AC, dan Wi-Fi gratis** justru dimanfaatkan tanpa imbal balik ekonomi yang signifikan.
Pihak pengelola mal mulai mempertimbangkan strategi baru, seperti:
* Membuat zona interaktif khusus pembeli
* Memberikan reward poin untuk transaksi nyata
* Meningkatkan promosi yang terarah
Netizen Terbelah
Di media sosial, warganet terpecah. Sebagian menyebut fenomena ini sebagai bentuk hiburan murah di tengah tekanan ekonomi, namun tak sedikit pula yang menyayangkan sikap “ikut ramai tapi tak bantu omzet”.
“Kalau semua cuma numpang foto, yang jualan bisa rugi besar,” tulis akun @belanjalokal di platform X (dulu Twitter).
Fenomena Rojali dan Rohana mencerminkan tantangan baru bagi sektor ritel di era digital dan sosial media. Kehadiran pengunjung tidak lagi menjamin transaksi. Dibutuhkan inovasi dari pelaku industri dan kesadaran publik untuk mendukung ekonomi lokal melalui transaksi nyata, bukan hanya kehadiran visual.
Editor: Fazli